OTT KPK Seret Kajari HSU: Di balik Sunyi Kejagung, Ada yang Disembunyikan?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 19 Desember 2025 1 jam yang lalu
Kepala Kejari (Kajari) HSU Albertinus P Napitupulu, dikawal petugas saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (19/12/2025)
Kepala Kejari (Kajari) HSU Albertinus P Napitupulu, dikawal petugas saat tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (19/12/2025)

Jakarta, MI — Operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, tak sekadar menangkap individu.

Operasi senyap ini justru membuka lubang gelap dalam sistem pengawasan internal Korps Adhyaksa—lembaga yang selama ini mengklaim sedang membersihkan diri dari praktik koruptif.

Seorang Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) HSU diduga ikut terjaring dalam OTT tersebut. Jika dugaan ini terbukti, maka ironi penegakan hukum menjadi sempurna: jaksa yang semestinya menuntut koruptor justru diduga menjalankan praktik yang sama di balik meja kekuasaan.

Yang mengundang kecurigaan publik bukan hanya penangkapan itu sendiri, melainkan respons dari pusat kekuasaan kejaksaan. Hingga Jumat (19/12/2025), Kejaksaan Agung mengaku belum menerima informasi resmi terkait OTT yang menyeret pejabat strategis di daerah.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menyatakan institusinya masih menunggu rilis resmi dari KPK.

“Saya belum dapat informasi. Kita tunggu rilis resmi saja dari KPK,” ujarnya di Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (19/12/2025).

Pernyataan ini memantik tanda tanya besar. Bagaimana mungkin sebuah OTT yang melibatkan pejabat eselon kejaksaan daerah—bahkan dilakukan oleh lembaga negara lain—tidak segera terdeteksi oleh sistem komando dan pengawasan internal Kejagung? Apakah memang tidak tahu, atau memilih tidak tahu?

Anang menambahkan bahwa Kejagung tidak akan mengintervensi proses hukum dan menyebut kasus ini sebagai momentum evaluasi internal. Namun pernyataan normatif tersebut terdengar klise di tengah berulangnya kasus serupa yang melibatkan jaksa di berbagai daerah, tanpa perubahan struktural yang terasa signifikan.

Fakta di lapangan berbicara lebih keras. Dalam OTT yang berlangsung Kamis (18/12/2025), KPK mengamankan enam orang. Selain Kajari HSU, turut diamankan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri setempat—posisi kunci yang semestinya berfungsi sebagai mata dan telinga pengawasan hukum.

Dari tangan para pihak, penyidik menemukan uang tunai ratusan juta rupiah. Temuan ini menguatkan dugaan adanya praktik pemerasan atau suap terkait penanganan perkara—modus klasik yang selama ini kerap dibantah secara institusional, namun berulang kali terkonfirmasi lewat OTT.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, membenarkan seluruh pihak diamankan di wilayah Kalimantan Selatan dan telah dibawa ke Gedung Merah Putih KPK untuk pemeriksaan intensif.

“Enam orang sudah diamankan dan sedang diperiksa,” ujarnya singkat.

Hingga berita ini diturunkan, KPK belum mengumumkan status hukum para pihak maupun perkara apa yang menjadi objek dugaan pemerasan. Namun pola penanganan KPK selama ini menunjukkan bahwa OTT jarang dilakukan tanpa bukti awal yang kuat.

Kasus ini kembali menampar wajah penegakan hukum nasional. Ketika jaksa—yang memegang kendali penuntutan dan diskresi hukum—diduga memperjualbelikan kewenangan, maka yang runtuh bukan hanya integritas individu, melainkan legitimasi institusi.

Pertanyaan mendasarnya kini bukan lagi siapa yang ditangkap, melainkan mengapa praktik ini terus berulang. Apakah OTT di HSU hanyalah puncak gunung es dari praktik sistemik di daerah? Ataukah akan menjadi pintu masuk untuk membongkar jaringan yang lebih luas di tubuh Korps Adhyaksa?

Publik menunggu jawaban. Dan kali ini, KPK diuji bukan hanya untuk menangkap, tetapi membongkar hingga ke akar—tanpa kompromi.

Topik:

Korupsi OTT KPK Jaksa Terjaring OTT Kejaksaan Agung Kejaksaan Negeri HSU Pemerasan Aparat Hukum Suap Penegak Hukum Skandal Hukum Investigasi KPK