Ada Apa? Dua OTT, Dua Nasib: Jaksa Banten Dilepas, HSU Disikat!

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Desember 2025 2 jam yang lalu
OTT KPK berhasil menjaring jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Banten. Keterangan dari kiri ke kanan: HMK selaku Kasi Pidum Kejari Tangerang, RZ selaku Kasubbag Daskrimti Kejati Banten, RV selaku Kasi D Kejati Banten (bawah) & Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara, Albertinus P Napitupulu dan Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Asis Budianto sebagai tersangka terkait kasus dugaan pemerasan kepada sejumlah perangkat daerah di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Sabtu (20/12-2025) (atas) (Foto: Kolase MI/Diolah)
OTT KPK berhasil menjaring jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi Banten. Keterangan dari kiri ke kanan: HMK selaku Kasi Pidum Kejari Tangerang, RZ selaku Kasubbag Daskrimti Kejati Banten, RV selaku Kasi D Kejati Banten (bawah) & Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai Utara, Albertinus P Napitupulu dan Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Asis Budianto sebagai tersangka terkait kasus dugaan pemerasan kepada sejumlah perangkat daerah di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, Sabtu (20/12-2025) (atas) (Foto: Kolase MI/Diolah)

Jakarta, MI — Dua operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dua keputusan berbeda. Yang satu dilepas, yang lain dihajar habis. Kontras inilah yang kini memicu kecurigaan publik terhadap konsistensi penegakan hukum di tubuh lembaga antirasuah.

Dalam OTT yang menyeret oknum jaksa di Banten, KPK memilih menyerahkan sepenuhnya penanganan perkara kepada Kejaksaan Agung. Langkah itu diambil dengan dalih koordinasi dan supervisi antar-lembaga. Namun keputusan tersebut justru dipandang sebagai kemunduran simbolik, mengingat OTT selama ini merupakan senjata pamungkas KPK untuk menunjukkan independensi dan ketegasan terhadap korupsi di internal aparat penegak hukum.

Sebaliknya, pada OTT yang menjerat jajaran Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara (Kejari HSU), KPK bersikeras mempertahankan penanganan perkara. Penindakan di HSU disebut tetap dikawal hingga tuntas, termasuk penelusuran aliran dana dan kemungkinan keterlibatan aktor lain. Sikap keras ini dinilai berbanding terbalik dengan perlakuan lunak terhadap kasus Jaksa Banten.

Perbedaan sikap tersebut memunculkan satu pertanyaan krusial: mengapa OTT Jaksa Banten dilepas, sementara HSU “disikat”? Tanpa penjelasan hukum yang terbuka dan rinci, publik wajar mencium aroma standar ganda, terutama ketika perkara menyentuh institusi penegak hukum itu sendiri.

KPK memang menyatakan setiap langkah diambil sesuai kewenangan dan mekanisme koordinasi. Namun di tengah defisit kepercayaan publik, jawaban normatif semacam itu dinilai belum cukup meredam kecurigaan.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat berdasarkan hasil pemantauan sejak 2006 hingga 2025, terdapat 45 jaksa yang ditangkap karena melakukan tindak pidana korupsi. 

Sebanyak 13 jaksa di antaranya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah menyebutkan, sejak ST Burhanuddin pimpin Korps Adhyaksa pada 2019, terdapat tujuh jaksa yang ditangkap akibat melakukan korupsi.

“Hal ini menunjukan bahwa Jaksa Agung gagal melakukan reformasi Kejaksaan,” katanya, Sabtu (20/12/2025).

Menurut Wana, adanya pimpinan KPK yang pernah bekerja sebagai jaksa menimbulkan dualisme loyalitas. Hal ini tergambar ketika KPK menyerahkan berkas jaksa di provinsi Banten yang terjaring operasi tangkap tangan ke Kejaksaan Agung.

Padahal, KPK memiliki wewenang secara jelas untuk menangani perkara korupsi yang melibatkan penegak hukum sesuai pada Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK.

Minimnya transparansi dalam penanganan perkara korupsi berpotensi membuka ruang terjadinya praktik transaksional antara aparat penegak hukum dengan tersangka yang sedang diperiksa. “Ketertutupan proses penanganan perkara menciptakan kondisi yang rentan terhadap penyalahgunaan kewenangan,” katanya.

Warna bilang termasuk potensi pemerasan atau kesepakatan tidak sah untuk menghentikan atau melemahkan proses hukum. Lada akhirnya bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang bersih dan berintegritas.

Penanganan kasus jaksa korupsi oleh Kejaksaan Agung dapat menimbulkan konflik kepentingan dan berpotensi melokalisir kasus. Penting untuk dipahami bahwa OTT merupakan langkah awal untuk dapat mengembangkan perkara, yang berpotensi melibatkan aktor lain.

“Dengan adanya OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap jaksa seharusnya menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung dalam melakukan reformasi internal kelembagaan. Alih-alih melakukan perbaikan, langkah Kejaksaan Agung menangani kasus tersebut merupakan bentuk nyata dari tidak adanya komitmen pemberantasan korupsi antar penegak hukum,” beber Wana.

Adanya jaksa yang ditangkap membuktikan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan di internal Kejaksaan tidak berjalan secara baik. Wana menilai fungsi pengawasan internal penting untuk dilakukan guna memastikan kerja penegakan hukum oleh Kejaksaan dilakukan secara tepat.

Adanya putusan MK Nomor 15/PUU-XXIII/2025 yang menguji konstitusionalitas Pasal 8 ayat (5) menegaskan bahwa apabila personel Kejaksaan tertangkap tangan melakukan tindak pidana, proses hukum terhadap yang bersangkutan dapat dilanjutkan tanpa memerlukan izin terlebih dahulu dari Jaksa Agung.

Penegasan ini dimaksudkan untuk menutup ruang intervensi struktural dari pimpinan kejaksaan dan memastikan efektivitas penegakan hukum terhadap personel Kejaksaan. Adanya putusan tersebut, secara normatif tidak terdapat lagi hambatan hukum bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menindak aparat penegak hukum yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

“Oleh karena itu, pelimpahan perkara korupsi yang melibatkan jaksa kepada Kejaksaan Agung patut dipertanyakan, karena berpotensi mencerminkan lemahnya peran dan keberanian KPK dalam melakukan penindakan korupsi yang melibatkan APH,” tutupnya.

Kejagung Ambil Alih di Hari OTT

Kontroversi makin mengental setelah Kejaksaan Agung resmi mengambil alih kasus dugaan pemerasan yang melibatkan oknum jaksa di Banten dari KPK. Fakta krusialnya: surat perintah penyidikan (sprindik) Kejagung diterbitkan pada hari yang sama dengan OTT KPK, 17 Desember 2025.

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengonfirmasi bahwa penyerahan tersangka dan barang bukti dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (19/12/2025) dini hari.

Sebanyak tiga orang diserahkan: satu jaksa, satu pengacara, dan satu ahli bahasa. Identitas mereka sempat dirahasiakan, sebelum akhirnya diungkap oleh Kejagung.

“Dalam rangka koordinasi dan kolaborasi penanganan tindak pidana korupsi, kami telah melakukan penyerahan orang dan barang bukti,” ujar Asep.

Janji Transparansi Kejagung

Kejagung menepis kekhawatiran publik soal potensi konflik kepentingan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, menegaskan pihaknya tidak akan menutup-nutupi perkara tersebut.

Salah satu jaksa yang terlibat diketahui adalah Redy Zulkarnain, Kepala Subbagian Daskrimti dan Perpustakaan Kejati Banten, yang sempat terjaring OTT KPK sebelum kasusnya diambil alih.

“Percayakan, proses penyidikan dan persidangan akan berjalan terbuka. Kami tidak akan menutup-nutupi,” kata Anang.

Ia juga mempersilakan media dan publik untuk terus mengawasi jalannya penanganan perkara, sembari menegaskan bahwa waktu yang akan membuktikan ada atau tidaknya konflik kepentingan.

Tiga Jaksa Masuk Bui

Dalam perkara ini, Kejagung menetapkan lima tersangka. Tiga di antaranya adalah oknum jaksa, sisanya berasal dari pihak swasta. Mereka kini ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung.

Ketiga jaksa tersebut yakni: HMK, Kasi Pidum Kejari Kabupaten Tangerang; RV, Jaksa Penuntut Umum Kejati Banten; dan RZ (Redy Zulkarnain), Kasubag Daskrimti Kejati Banten.

Dua tersangka lain adalah pengacara berinisial DF dan penerjemah/ahli bahasa MS. “Total lima tersangka, tiga oknum jaksa dan dua dari swasta. Semuanya sudah ditahan,” tegas Anang.

Kasus ini bukan semata soal jumlah tersangka atau siapa yang ditahan. Esensinya ada pada konsistensi dan keberanian institusi penegak hukum.

Jika satu OTT dilepas dan yang lain dipertahankan tanpa argumentasi hukum yang transparan, maka frasa “dua OTT, dua nasib” bukan sekadar judul—melainkan alarm serius bagi wibawa pemberantasan korupsi di Indonesia. (wan)

Topik:

KPK OTT Jaksa Banten Kejaksaan Agung Kejari HSU Penegakan Hukum Korupsi Aparat Penegak Hukum Standar Ganda Transparansi KPK