Masih Banyak Mahasiswa Disabilitas Drop Out, KND Minta Kampus Lebih Inklusif

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 17 Desember 2025 8 jam yang lalu
Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Indonesia, Dante Rigmalia. (Foto. Rizal Siregar)
Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Indonesia, Dante Rigmalia. (Foto. Rizal Siregar)

Tangerang, MI - Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Indonesia, Dante Rigmalia, menekankan pentingnya perhatian serius perguruan tinggi terhadap mahasiswa penyandang disabilitas, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. 

Hal itu disampaikan Dante dalam Diskusi “Diseminasi Praktik Baik Metrik Inklusi Disabilitas untuk Peningkatan Layanan Mahasiswa” yang digelar Universitas Pradita di Gedung 1, Tower 1, Jl. Gading Serpong Boulevard No.1, Tangerang, Rabu (17/12/2025).

“Ketika kita tidak mampu menangkap kondisi disabilitas yang tidak terlihat. Mereka sudah berjuang keras masuk kampus, tetapi kemudian gagal di tengah jalan dan akhirnya drop out,” ujar Dante.

Ia mengungkapkan, KND masih banyak menemukan mahasiswa dengan disabilitas yang tidak kasatmata, seperti disleksia atau hambatan sensorik tertentu, yang tidak terdeteksi oleh sistem kampus. Padahal, sekitar 15 persen populasi memiliki kondisi seperti disleksia. 

“Karena itu kami mohon perhatian agar kampus fokus pada dua kondisi sekaligus, disabilitas yang terlihat dan yang tidak terlihat,” katanya.

Dante menegaskan, regulasi di Indonesia sejatinya sudah cukup kuat menjamin hak pendidikan bagi penyandang disabilitas. Mulai dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Permenristekdikti Nomor 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak.

“Undang-undang dengan tegas memandatkan bahwa pendidikan bagi penyandang disabilitas dapat diselenggarakan secara inklusif di sekolah reguler maupun secara khusus. Termasuk di perguruan tinggi, akomodasi yang layak itu wajib disediakan,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan kewajiban pembentukan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di perguruan tinggi. “Pasal 42 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 mewajibkan setiap penyelenggara pendidikan tinggi memfasilitasi pembentukan ULD. Ini bukan pilihan, tapi mandat,” kata Dante.

Namun, tantangan di lapangan masih besar. Mengacu pada data Susenas 2018, hanya sekitar 2,6 persen penyandang disabilitas yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi.

 “Semakin tinggi jenjang pendidikan, angkanya justru semakin menurun. Ini menjadi alarm bagi kita semua,” ujarnya.

Dante mengajak pimpinan kampus untuk tidak hanya melihat disabilitas dari penggunaan kursi roda atau alat bantu fisik. 

“Mari kita refleksi, berapa banyak mahasiswa yang tidak bisa menyelesaikan semester atau kuliahnya. Bisa jadi itu akibat disabilitas yang tidak terlihat,” ucapnya.

Dante menegaskan bahwa kampus inklusif bukan sekadar label.

“Kampus inklusif adalah filosofi penyelenggaraan pendidikan. Filosofinya menghargai, mengakui, dan menghormati perbedaan kemampuan, potensi, dan kebutuhan setiap individu,” jelasnya.

Menurutnya, kampus yang inklusif adalah kampus yang memungkinkan semua mahasiswa tidak hanya hadir, tetapi juga berpartisipasi dan berprestasi tanpa diskriminasi. 

“Ketika ada hambatan, hambatan itu harus diminimalkan. Ketika mahasiswa tidak mampu mengikuti, kampus wajib mencari cara agar dia mampu mengikuti,” katanya.

KND juga mencatat masih adanya kesenjangan antara penerimaan mahasiswa disabilitas dan penyediaan akomodasi yang layak. Dante mencontohkan kasus mahasiswa tuli yang gagal mengikuti ujian karena pengumuman disampaikan secara lisan tanpa juru bahasa isyarat, serta mahasiswa autis yang ditolak permintaan penyesuaian metode pembelajaran.

Selain itu, banyak kampus masih membatasi jenis disabilitas tertentu atau mengunci akses ke program studi tertentu. “Yang inklusif itu adalah membuka semua pintu. Penyandang disabilitas tahu kemampuan dirinya. Jangan kampus yang membatasi dan menstigma,” tegas Dante.

Ia menambahkan, stigma dan diskriminasi, termasuk yang berasal dari ketidakpahaman dosen, masih menjadi persoalan serius. Karena itu, KND mendorong agar kampus inklusif dijadikan visi institusi dengan dukungan kebijakan tertinggi dari rektorat.

Sebagai langkah awal, Dante menegaskan pentingnya penguatan ULD di perguruan tinggi. “ULD berfungsi menyediakan layanan, fasilitas, dan pendampingan bagi penyandang disabilitas. Tujuannya memberikan kesetaraan kesempatan, akses pendidikan bermutu, dan menciptakan lingkungan yang saling menghargai,” jelasnya.

Ia menutup dengan mengingatkan bahwa pendidikan inklusif adalah proses jangka panjang yang memerlukan komitmen berkelanjutan.

“Mohon jangan menganggap mahasiswa tidak disabilitas hanya karena tidak menggunakan alat bantu. Bisa jadi disabilitasnya tidak terlihat,” pungkas Dante.

 

 

 

 

Topik:

disabilitas pendidikan inklusif kampus inklusif Komisi Nasional Disabilitas KND mahasiswa disabilitas