Bisnis Perusak Lingkungan Disokong Kredit Bank, Keuntungannya Kabur ke Luar Negeri

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 18 Desember 2025 9 jam yang lalu
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana (Foto: Dok MI/Pribadi)
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana (Foto: Dok MI/Pribadi)

Jakarta, MI – Jejak uang dari bisnis perusak lingkungan di Indonesia diduga tidak berhenti di dalam negeri. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap indikasi kuat aliran dana hingga triliunan rupiah yang mengalir ke luar negeri, seiring maraknya eksploitasi sumber daya alam di sektor ekstraktif.

Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, membeberkan bahwa total perputaran dana sektor ekstraktif—yang mencakup pertambangan, kehutanan, dan sumber daya alam lainnya—mencapai angka mencengangkan, yakni Rp1.700 triliun sepanjang 2021–2024. Dana jumbo itu, menurut PPATK, tidak sepenuhnya kembali ke ekonomi nasional.

“Modal kerja perusahaan-perusahaan pengeruk sumber daya alam sebagian besar berasal dari kredit perbankan dalam negeri. Namun hasil keuangannya justru mengalir ke luar negeri. Pola inilah yang kami duga menjadi pemicu eksploitasi alam yang tidak terkendali,” ujar Ivan, dikutip pada Kamis (18/12/2025).

Sumatera Jadi Episentrum

PPATK secara khusus menyoroti Sumatera sebagai wilayah dengan aktivitas keuangan mencurigakan yang tinggi. Pada semester pertama 2025 saja, perputaran dana di wilayah ini tercatat mencapai Rp36 triliun, dengan Rp11 triliun di antaranya diduga berkaitan langsung dengan tindak pidana lingkungan hidup.

Ivan mengungkapkan, salah satu bank nasional bahkan menyalurkan kredit hingga Rp16 triliun dalam satu tahun, yang mengalir ke sejumlah korporasi sektor eksplorasi sumber daya alam. PPATK menduga, sebagian dana tersebut berujung pada aktivitas yang melanggar hukum, mulai dari perusakan hutan hingga pencemaran lingkungan, sebelum akhirnya “dicuci” dan dikirim ke luar negeri.

Dugaan Pencucian Uang Korporasi

Di sisi penegakan hukum, Bareskrim Polri kini masuk lebih dalam. Aparat tengah mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan oleh korporasi-korporasi yang disinyalir terlibat kejahatan lingkungan di Sumatera.

“Kami tidak hanya menerapkan pasal lingkungan hidup, tetapi juga pencucian uang,” tegas Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Mohammad Irhamni.

Penyelidikan tersebut telah meningkat ke tahap penyidikan, menyusul temuan kayu gelondongan dalam jumlah besar yang terbawa banjir dan memicu bencana ekologis di Sumatera Utara.

Kayu Gelondongan dan Jejak Korporasi

Kasus ini berawal dari temuan kayu gelondongan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Garoga, Kabupaten Tapanuli Selatan, serta DAS Anggoli, Tapanuli Tengah. Temuan itu muncul beriringan dengan bencana banjir yang menelan kerugian ekologis dan sosial besar.

Aparat mengklaim telah mengantongi bukti kuat adanya tindak pidana di balik peristiwa tersebut. “Sebagian besar kayu itu berasal dari PT TBS,” ungkap Irhamni.

Alarm Kejahatan Lingkungan Terorganisir

Rangkaian temuan PPATK dan Bareskrim menguatkan dugaan bahwa kejahatan lingkungan di Indonesia bukan lagi aksi sporadis, melainkan kejahatan terorganisir berbasis korporasi, dengan dukungan pembiayaan formal dan jalur keuangan lintas negara.

Jika terbukti, praktik ini bukan hanya merampas sumber daya alam dan merusak lingkungan, tetapi juga menggerus kedaulatan ekonomi nasional—karena keuntungan akhirnya dinikmati di luar negeri, sementara kerusakan ekologis ditanggung rakyat.

Penyidikan lanjutan diharapkan mampu membuka siapa aktor utama, bank pemberi kredit, serta tujuan akhir aliran dana dari bisnis perusak lingkungan tersebut.

Topik:

PPATK Aliran Dana Gelap Kejahatan Lingkungan Pencucian Uang TPPU Sektor Ekstraktif Kredit Perbankan Eksploitasi Alam Korporasi Perusak Lingkungan Sumatera Bencana Ekologis