Kampus Berdampak, Riset Menguat: Mukhamad Najib Tegaskan Perguruan Tinggi Harus Jadi Lokomotif Inovasi Bangsa

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 6 Desember 2025 1 jam yang lalu
Direktur Kelembagaan Ditjen Diktisaintek Kemendikbudristek, Mukhamad Najib, memaparkan konsep Kampus Berdampak. (Foto. Rizal Siregar)
Direktur Kelembagaan Ditjen Diktisaintek Kemendikbudristek, Mukhamad Najib, memaparkan konsep Kampus Berdampak. (Foto. Rizal Siregar)

Bogor, MI - Direktur Kelembagaan Ditjen Diktisaintek Kemendikbudristek, Mukhamad Najib, memaparkan secara komprehensif konsep Kampus Berdampak dalam Media Gathering Journalist Bootcamp Dikti 2025 di Bogor, Sabtu (6/12/2025). 

Pada forum tersebut, ia menegaskan bahwa Indonesia hanya dapat keluar dari middle income trap melalui dua jalur: peningkatan jumlah pekerja berkeahlian tinggi dan penguatan kapasitas inovasi berbasis riset.

“Tahun 2045 kita ingin menjadi negara maju dengan income per capita 30.000 dolar AS. Itu artinya rata-rata pendapatan kita sekitar 45 juta rupiah per bulan,” kata Najib. “Hari ini kita masih sekitar 5.300 dolar AS per tahun. Sangat jauh, dan untuk mengejar itu kampus harus memegang peran strategis.”

Najib menjelaskan bahwa syarat pertama menuju Indonesia Maju 2045 adalah meningkatkan proporsi tenaga kerja berkeahlian tinggi hingga minimal 40–60 persen. Namun angka saat ini masih jauh dari target.

“Kalau kita asumsikan sarjana sama dengan high-skilled worker, angkanya baru 11 persen. Partisipasi pendidikan tinggi kita baru 32 persen, tertinggal dari Vietnam, Malaysia, dan Thailand,” ujarnya.

Karena itu, pemerintah mendorong perguruan tinggi membuka akses seluas-luasnya, terutama melalui peningkatan KIP Kuliah, sekaligus memastikan kampus tidak hanya menerima mahasiswa, tetapi juga bertanggung jawab pada peningkatan kualitas SDM nasional.

Syarat kedua, kata Najib, adalah kapasitas inovasi nasional, yang hingga kini masih sangat rendah. “Indeks inovasi kita masih di bawah 10, sementara negara maju mencapai 80. Inovasi itu lahir dari riset, dan riset adanya di kampus.”

Ia menekankan bahwa universitas di Indonesia masih didominasi model teaching university (generasi 1.0), bukan research university.

“Kami ingin kampus bertransformasi. Dari teaching university menjadi research university, bahkan entrepreneurial university bagi PTNBH.”

Najib menyoroti realitas bahwa banyak dosen tidak melakukan riset bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena kurangnya dukungan pendanaan internal.

“Kalau mengajar, honornya jelas. Tapi kalau dosen mau meneliti, kampus sering tidak menyediakan alokasinya. Mereka harus ikut hibah, kalau dapat syukur, kalau tidak ya berhenti meneliti,” jelasnya.

Untuk itu, pemerintah mengubah kebijakan besar: 60% dana penelitian dialokasikan untuk dosen PTS, terutama PTS kecil, Kolaborasi dengan LPDP melalui Dana Abadi Penelitian (DAPL) untuk memperluas kuota riset dan Komitmen Presiden untuk meningkatkan anggaran penelitian mulai 2026.

“Target kita jelas: kampus harus tumbuh sebagai research university. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat harus seimbang, bukan pendidikan saja yang dominan.”

Penelitian Luar Biasa dari Lampung yang Nyaris Tak Diketahui Publik

Dalam pemaparannya, Najib mengungkap contoh mencolok tentang potensi riset nasional yang sama sekali tidak tersiar ke publik.

“Teman-teman pasti kaget, Universitas Bandar Lampung itu mendapatkan hibah jutaan dolar dari NASA Tiongkok untuk mengembangkan mikrosatelit eksplorasi bulan,” ujar Najib.

Ia menyampaikan bahwa proyek tersebut melibatkan kolaborasi dengan astronom dari ITB, BRIN, dan UI.

“Ini luar biasa. Kampus swasta di Lampung bisa terlibat dalam riset eksplorasi bulan. Tapi publik tidak tahu. Tidak ada publikasi, tidak ada informasi yang sampai ke masyarakat,” tegasnya.

Najib menilai hal ini sebagai masalah besar dalam ekosistem inovasi Indonesia—inovasi hebat terjadi, tetapi tidak terkoneksi dengan publik, industri, investor, maupun pembuat kebijakan.

Najib menekankan bahwa riset sering sulit dipahami publik karena bahasanya terlalu teknis, sementara para peneliti tidak terbiasa mengemas temuannya dalam bahasa populer.

“Dosen nulis di jurnal Sinta dapat kum 20. Nulis di Kompas yang susahnya luar biasa, kumnya cuma satu. Budaya publikasi ilmiah jauh lebih kuat dibanding publikasi media massa,” katanya.

“Media memiliki kekuatan mendistribusikan pengetahuan. Kalau hasil riset tersaji di media, pengambil kebijakan bisa membaca dan menjadikannya dasar keputusan. Itu yang kita sebut evidence-based policy.”

Konsep Kampus Berdampak juga menuntut perguruan tinggi terlibat langsung dalam menyelesaikan persoalan masyarakat dan pemerintah daerah.

Krisis sampah Yogyakarta yang seharusnya bisa ditangani kampus-kampus dengan fakultas lingkungan.

Program KKN Literasi bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional untuk meningkatkan literasi di desa-desa.

Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, (LL Dikti) wilayah Jawa Barat dan Banten yang menggerakkan kampus berkontribusi menyelesaikan persoalan sampah Kota Bandung.

“Kampus punya ahli, punya inovasi, punya mahasiswa. Pemerintah daerah punya persoalan. Tinggal dipertemukan. Kami berperan sebagai enabler, penghubung.”

Di akhir pemaparannya, Najib kembali menekankan urgensi transformasi.

“Kalau kita ingin Indonesia masuk negara maju pada 2045, kampus tidak boleh tinggal diam. Kampus harus menjadi lokomotif pembangunan ekonomi. Tanpa riset, tanpa inovasi, tanpa kampus berdampak, kita tidak akan pernah sampai ke sana.”

Ia menegaskan, kampus yang kuat bukan hanya kampus yang ramai mahasiswa, tetapi kampus yang meneliti, mengabdi, berinovasi, dan menghasilkan dampak nyata bagi negara.

 

 

 

Topik:

kampus berdampak pendidikan tinggi Kemendikbudristek Dirjendiktisaintek Mukhamad Najib transformasi pendidikan